Saturday, October 30, 2010

 … Anak yang Hilang …


Seorang gadis muda tumbuh di perkebunan cerry tidak jauh dari Traverse City, Michigan. Orang tuanya sedikit kolot, cenderung bereaksi berlebihan pada cincin dihidungnya, musik yang dia dengarkan dan panjang roknya. Mereka menghukumnya beberapa kali dan ia memendam kejengkelan dalam hati. “Saya membenci ayah!” teriaknya ketika ayahnya mengetuk pintu kamarnya setelah sebuah pertengkaran dan malam itu ia menjalankan rencana yang sudah ia pikirkan puluhan kali. Ia melarikan diri.

Ia baru sekali ke Detroit sebelumnya, dalam perjalanan dengan bis bersama kelompok remaja sekolahnya untuk menyaksikan permainan tim Tigers. Karena surat kabar di Traverse City sering memberitakan tentang geng, obat terlarang dan kekerasan di pusat kota Detroit dengan sangat rinci, ia menyimpulkan pasti orang tuanya tidak akan mencarinya kesana. California mungkin, atau Florida, tapi tidak Detroit.

Pada hari kedua ia di sana, ia bertemu seorang pria yang akan mengemudikan mobil paling besar yang pernah dilihatnya. Pria itu menawarkan untuk mengantarnya, membelikan makan siang, dan mengatur agar dia punya tempat tinggal. ia memberi gadis ini beberapa pil yang membuatnya tidak pernah merasa seenak ini. Ternyata selama ini ia memang benar, pikir gadis itu, orang tuanya melarangnya menikmati segala kesenangan.

Kehidupan menyenangkan berlanjut satu bulan, dua bulan, setahun. Orang bermobil besar itu ( ia memanggilnya “BOS” ) mengajarinya beberapa hal yang disukai pria. Karena ia masih dibawah umur, pria membayar mahal untuk dirinya. Ia tinggal di apartment mewah dan bisa memesan layanan kamar kapan saja. Sesekali ia teringat pada orang-orang di kampung halamannya, tapi hidup mereka sekarang tampak sangat membosankan dan kampungan sampai ia hampir tidak percaya ia tumbuh besar di sana.

Ia sedikit takut melihat fotonya di belakang kemasan susu dengan judul besar,

“Apakah Anda pernah melihat anak ini ? “. Tapi sekarang rambutnya sudah pirang dan semua riasan wajah juga perhiasan yang ia kenakan, tidak ada yang menyangka ia masih anak-anak. Lagipula, kebanyakan temannya adalah remaja yang melarikan diri dan tidak ada yang berkhianat di Detroit. Setelah setahun, tanda-tanda samar penyakit mulai muncul dan ia terkejut melihat betapa cepat BOSnya menjadi kejam. “ Jaman sekarang kita tidak bisa main-main,” geramnya, dan tiba-tiba saja ia sudah berada di jalanan tanpa uang dikantungnya. Ia masih melakukan “pekerjaannya” beberapa kali semalam, tapi bayaran yang ia dapati sangatlah sedikit dan semua uang itu habis untuk membayar semua kecanduannya.

Ketika musim dingin tiba, ia menemukan dirinya tidur dipagar logam di depan pusat pertokoan. “TIDUR” adalah kata yang salah, gadis remaja ditengah kota Detroit malam hari tidak pernah bisa mengendorkan kewaspadaannya. Lingkar hitam mengelilingi matanya, batuknya bertambah parah. Suatu malam ia berbaring tanpa bisa tidur, sambil mendengarkan langkah kaki, tiba-tiba kehidupannya tampak berbeda. Ia tidak lagi merasa jadi wanita hebat. Ia merasa seperti anak kecil, tersesat dikota yang dingin dan menakutkan. Ia mulai mengigil, kantungnya kosong dan ia lapar. Ia juga perlu narkotika. Ia melipat kakinya dan gemetar di bawah lembaran surat kabar yang ia tumpuk diatas mantelnya. Sesuatu muncul begitu saja dalam pikirannya dan satu gambaran terbayang dimatanya, bulan Mei di Traverse City, ketika jutaan pohon cerry berbuah bersamaan, ia berlarian bersama anjing golden retriever miliknya. Mengejar bola tennis di antara barisan pohon yang berbunga. “ Tuhan, mengapa aku pergi ? “ katanya dalam hati, dan rasa perih menghujam hatinya. Anjingku saja dirumah makan lebih enak dari pada aku sekarang. Ia menangis, dan dalam sekejap ia tau, tidak ada yang lebih dia inginkan di dunia kecuali pulang. Tiga sambungan telepon, tiga kali di jawab mesin penjawab. Dua kali Ia menutup telepon tanpa meninggalkan pesan, tapi ketiga kalinya ia berkata, “ Ayah, Ibu, ini aku. Aku berfikir mungkin aku akan pulang. Aku akan naik bis kesana dan aku akan sampai sekitar tengah malam besok. Kalau Ayah dan Ibu tidak datang, yah …., mungkin aku akan terus naik bis sampai kanada”.

Dibutuhkan waktu sekitar tujuh jam dengan bis dari Detroit ke Traverse City dan sepanjang jalan ia menyadari cacat-cacat dalam rencananya. Bagaimana kalau orangtuanya sedang keluar kota dan melewatkan pesan itu ?. Bukan kah seharusnya ia menunggu satu dua hari sampai bisa berbicara langsung dengan mereka ? . Dan kalaupun mereka dirumah, mungkin mereka sudah lama menganggap dirinya mati. Seharusnya ia memberi waktu agar mereka bisa mengatasi rasa kagetnya.

Pikirannya bolak-balik antara khawatir dan kata-kata yang disusun untuk menyapa Ayahnya. “ Ayah, aku minta maaf. Aku tau aku yang salah. Bukan salah ayah, semuanya salahku. Ayah, bisakah ayah memaafkan aku ? “. Ia mengucapkan pikiran itu berulang-ulang dalam hati, kerongkongannya tercekat ketika melatihnya. Sudah bertahun-tahun ia tidak minta maaf pada siapapun. Bis melaju dengan lampu menyala sejak di Bay City. Butiran kecil salju yang berjatuhan di trotoar terlindas ribuan ban dan aspal beruap. Ia lupa segelap apa malam hari disini. Seekor rusa berlari menyeberang jalan dan bis menghindarinya sesekali, ada billboard. Tanda yang menunjukkan jaraknya ke Traverse City. Ketika bis akhirnya berbelok ke stasiun, rem udaranya mendesis, sopir mengumumkan dengan suara serak lewat microphone. “ Lima belas menit, saudara-saudara. Kita hanya berhenti selama itu disini.!! “.

Lima belas menit untuk memutuskan hidupnya, ia memeriksa dirinya di cermin lipat, merapikan rambutnya. Ia melihat noda tembakau diujung-ujung jarinya dan berfikir,  “ apakah orang tuanya akan melihatnya. Kalau mereka datang  ? “. Ia berjalan kedalam terminal. Tidak tau harus mengharapkan apa. Tidak satupun adegan yang ia siapkan dipikirannya bisa disiapkannya, untuk apa yang dilihatnya nanti. Di sana, di atas kursi-kursi plastic terminal bis Traverse City, Michigan, berdiri sekitar empat puluh saudara, paman, bibi, sepupu, nenek, nenek buyut.

Mereka semua memakai topi kertas pesta dan gulungan kertas yang bisa ditiup dan didinding terminal di tempeli spanduk yang dibuat dengan komputer yang bertuliskan,

 “ Selamat Pulang Kembali !! “. Di tengah kerumunan penyambut, muncul ayahnya. Ia memandang dengan mata perih dengan air mata sederas hujan dan ia memulai dengan sapaan yang sudah dihafalkan, “ Ayah. Aku minta maaf. Aku tau ……”.

Ayahnya memotong perkataannya. “ Ssstt… Anakku. Kita tidak punya waktu untuk itu. Tidak punya waktu untuk permintaan maaf. Kau akan terlambat ke pesta. Sebuah jamuaan menunggumu dirumah.”

No comments:

Post a Comment